CIANJUR NEWS-Ancaman adanya individu dan kelompok-kelompok radikal dan ekstremis ke dalam aksi teror semakin banyak di Asia Tenggara. Masuknya ideologi dan pemahaman radikal dan ekstremis berawal dari kelompok Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) yang berusaha membangun daerah operasional baru, ini ditandai dengan adanya penunjukkan pemimpin baru yaitu Abu Sayyaf atau Isnilon Hapilton di Filipina pada tahun 2016. Kelompok ini disebut dengan nama Wilayat yang menjadi basis militan di Asia tenggara.
Lain halnya dengan kelompok dan individu radikal, ekstremisme sudah lama ada di Asia Tenggara. Gerakan separatis kekerasan berbasis di Asia Tenggara sudah ada dalam 30 tahun terakhir. Salah satu ancaman terbesarnya ada di Indonesia dan menyebabkan ratusan korban jiwa. Rekrutmen jaringan terorisme dengan melibatkan anak-anak merupakan modus yang sudah lama digunakan.
Biasanya, perekrutan ini masuk ke sekolah-sekolah. Mereka yang disasar adalah anak-anak dengan konsisi ekonomi sulit, kesulitan belajar, kurang mendapat perhatian orang tua, atau memiliki masalah keluarga. Perekrutan biasanya melalui guru hingga alumni sekolah dengan mengajarkan sikap intoleran. Pola rekrutmen anak-anak dalam jaringan terorisme, seperti NII semakin canggih dan sulit dikenali oleh orang terdekat. Maka harus hati-hati KPAI akan terus mengawal dan melakukan tugasnya sesuai mandat undang-undang untuk mencegah agar anak-anak tidak terpapar jaringan terorisme.
Dilihat dari sudut pandang spektrum, ancaman dibagi menjadi dua, yaitu tradisional dan non tradisional atau pada definisi lain disebut konvensional dan non konvensional. Pada spektrum konvensional ancaman bersifat fisik dapat dilihat secara kasat mata, seperti pemberontakan bersenjata, terorisme, kejahatan laut, pelanggaran wilayah, invasi dan kudeta. Sedangkan ancaman non konvensional bersifat tidak terlihat seperti, krisis moneter, korupsi, sabotase, propaganda, siber dan money laundry. Kondisi ini juga turut menggeser sistem keamanan nasional yang berpusat pada negara (state security) menjadi berpusat pada manusia (human security). Melalui konsep human security, ancaman berfokus pada keamanan ekonomi, keamanan pangan, keamanan kesehatan, keamanan lingkungan, keamanan individu, keamanan komunitas dan keamanan politik.
Tingginya tingkat multikultural yang ada di Indonesia juga menjadi sebab tingginya islamophobia di Indonesia. Selain agenda politik Barat dengan konsep terorisme sebagai definisi praktik kekerasan Islam yang membuat tumbuhnya islamophobia di Indonesia, media massa Indonesia juga yang terjebak dalam wacana islamophobia yang digulirkan Barat menjadi sebab islamophobia di Indonesia.
Menurut Amirsyah Tambunan, Sekretaris Jenderal DPP Majelis Ulama Indonesia (MUI), islamophobia terjadi di Indonesia lebih mengarah pada pemahaman ekstremis kanan yang beragama secara berlebihan. Beragama dengan berupaya mendirikan negara Islam di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Cara yang keras dan juga sikap yang ekstrem kerap digunakan pada suatu aliran politik, demi tercapainya sebuah keinginan, perubahan atau pembaruan sosial.
Tindakan-tindakan semacam ini selalu mengatasnamakan agama dan cenderung menimbulkan kekerasan. Sehingga tidak heran jika banyak kelompok yang menganggap ide-ide segar yang lebih maju dan membangun sebagai suatu hal yang bertentangan dengan Islam. Selain itu, sebagai ancaman merusak kemurnian agama, sehingga nilai-nilai universal Islam seolah tercabut dari akarnya. Narasi ekstremisme harus dilawan dengan cara penyebarluasan narasi kontranya, yakni dengan melalui toleransi, persaudaraan, serta kasih sayang.
Kejahatan yang terkait dengan ekstremisme berbasis kekerasan adalah radikalisme, terorisme, dan ekstremisme. Ketiga kejahatan ini mempunyai efek yang sama, efek yang ditimbulkan dari kejahatan ini adalah terror bagi pihak yang menjadi target atas paham ekstrem. Namun ketiga kejahatan ini memiliki konsep yang berbeda. Pertama, Radikal secara etimologis berasal dari Latin yang berarti akar atau basis. Peningkatan peran dan partisipasi perempuan secara signifikan dalam kelompok teroris serta aksi terorisme beberapa tahun belakangan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas, telah menjadi fenomena yang menarik perhatian dan cukup mengejutkan dunia internasional. Meskipun perempuan masih memegang proporsi teroris yang jauh lebih kecil apabila dibandingkan dengan laki-laki, namun para sarjana dalam beberapa tahun terakhir mulai memusatkan perhatian mereka pada meningkatnya jumlah dan pentingnya perempuan dalam peran-peran ini.
Motivasi para perempuan mengikuti aksi terorisme pun beragam. Ada yang beranggapan dengan mengikuti terorisme, mereka sama saja melakukan janji syahid dan solidaritas sesama Islam. Selain itu, hipotesis yang berkembang di perempuan yang terlibat dalam aksi terorisme tersebut menganggap pemerintahan yang thagut menjadi alasan mereka menjalankan aksi terorisme.
Adanya pergeseran konsepsi tentang maskulinitas ke feminitas. Proses indoktrinasi yang berkembang tentang perempuan juga punya kewajiban untuk melakukan jihad dalam kondisi yang darurat membuat mereka berani untuk mengambil tindakan demikian.
Selain itu, ada pula para perempuan yang memiliki trauma dengan hubungan rumah tangga mereka, sehingga memilih untuk melakukan tindakan terorisme, meski ia tahu itu adalah hal yang salah. Budaya patriarki dalam aksi kekerasan dan jaringan ISIS telah mengubah konsepsi perempuan terhadap tindakan terorisme, bahwa perempuan juga memiliki kesempatan untuk berjihad.
Berbagai aksi terorisme yang terjadi di berbagai belahan dunia tidak hanya menyasar kaum laki-laki, melainkan juga perempuan. Para perempuan yang terlibat kebanyakan direkrut oleh orang terdekat, seperti orang tua, pasangan, dan teman. Ada pula yang terlibat karena keinginan sendiri maupun direkrut oleh kelompok radikal atau teroris. Perempuan yang terlibat di dalam rangkaian aksi terorisme lebih banyak yang berperan sebagai korban dibanding agen murni atau aktor.
Keterlibatan aktif perempuan dalam aksi terorisme di tanah air menjadi salah satu fenomena baru yang semakin diperhatikan. Perempuan yang dianggap sebagai salah satu kelompok paling rentan terpapar paham radikal salah kaprah nyatanya juga sudah meninggalkan jejak di gelanggang aksi teror di tanah air.
Keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme di Indonesia terutama yang bersinggungan dengan ISIS, melibatkan berbagai peran dan motivasi. Keterlibatan perempuan dipengaruhi oleh faktor kepribadian seperti narsisme dan fanatisme, latar belakang pribadi, pengaruh orang terdekat yang terlibat terorisme, serta identitas sosial yang terkait dengan solidaritas muslim.[Rahma/Cianjur]***
0 Comments